PANCA GAIB DAN ADIATMA
Yang dimaksud Panca Gaib adalah lima hal yang dapat menjembatani laku seseorang untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Gaib, yaitu lima rangkaian unen-unen yang disebut : KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI.
KUNCI
Di dalam Bahasa Jawa artinya adalah:
Ambuka utawa amiwiti, piranti kanggo ambuka lan nutup, yang artinya membuka atau memulai, alat untuk membuka dan menutup.
Tinarbuka rasa kasuksmane kareben bisa ambuka pangerten kepriye sejatine kahanaNe Gusti Ingkang Maha Suci, kang ateges tinarbuka kabeh kang ana ing jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: terbuka rasa Ketuhananya, agar bisa membuka kerahasiaan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Suci yang juga berarti membuka semua yang ada didalam kerahasiaan diri pribadi sebagai mikro kosmos dan kerahasiaan alam sebagai makro kosmos.
Angisi rasa, raga lan nalar ing bab olah manunggaling Gusti kawula lan uga ing bab manunggaling jagad gedhe lan jagad cilik, yang artinya: mengisi raga, rasa dan nalar dalam hal olah dan laku didalam upaya menyatunya Tuhan dengan hambanya dan juga menyatunya makro kosmos dan mikro kosmos.
Nutup, kanthi pangerten nutupi reruwet kang asal saka ubaling hawa nepsu kang kudune tansah di kendaleni, jalaran yen diumbar bisa nutupi ras sesambungan gaib marang Gusti kawula, yang artinya: menutup, dalam arti menutupi keruwetanyang berasal dari luapan hawa nafsu yang seharusnya selalu dikendalikan, sebab apabila dilepas bebas akibatnya bisa menutupi hubungan gaib antara Tuhan dan hambanya.
Rukun, kanthi pangerten manunggale rasa marang manungsa, kewan lan tethukulan uga alam saisine, yang artinya: rukun dengan pengertian menyatukan rasa dengan keberadaan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dan juga alam seisinya. Anggap semua manusia itu saudara, dan anggap hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran bersama.
Nunggal, kanthi pangerten; manunggalake rasa marang Gusti lan kabeh utusaNe kang asipat langgeng, yang artinya: menyatu secara rasa kepada Tuhan dan para utusaNya yang Bersifat langgeng.
Suci, kanthi pangerten; suci ing pangrasa, pamicara lan tumindak, amarga ati sanubari lan awak sakojur iku peparinge Gusti Ingkang Maha Suci, mula aja di gegampang kanggo amadahi samubarang kang sipate ora suci, artinya: Suci dengan pengertian; suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, karena hati nurani dan seluruh tubuh itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Suci, maka janganlah mudah mengisi dengan segala sesuatu yang sifatnya tidak suci.
Dadi, kanthi pangerten; bisa dadi apa kang dikarepake, manut tatanan kang samurwat lan saukur, kalamun bisa anggelar lan anggulung isine KUNCI, artinya: Menjadi dalam pengertian bisa jadi apa yang dikehendaki menurut tatanan kebutuhan dan kemampuan manakala bisa memahami apa yang tersirat dan tersurat didalam KUNCI.
Semua itu apabila bisa dijalankan dengan penghayatan yang paripurna, artinya apabila dapat menghayati dengan hening dari makna kata demi kata serta dapat menarik makna dari pemikiran yang mendalam tentang hakekat hidup, disertai keluhuran budi pekerti dan kehalusan perasaan yang berKetuhanan Yang Maha Esa dan bisa menarik makna yang terdalam dari yang tersirat dan tersurat di dalam KUNCI.
Anggelar artinya dapat menarik pengertian bagaimana yang boleh dijalankan menurut tatanan lahiriah, dan anggulung isine Kunci artinya adalah bagaimana cara menggunakan KUNCI sebagai sarana untuk menuju hening cipta dalam rangka mengupayakan menyatunya diri dengan Tuhan Yang Maha Suci beserta semua utusanNya yang bersifat langgeng. Dan khusus tentang penjabaran lebih lanjut dari hal ini akan penulis paparkan pada kesempatan atau tulisan lain.
Apabila kunci dipelajari dengan dengan penghayatan yang paripurna, akan menghasilkan:
Weninge cipta, artinya heningnya cipta.
Tentreme nala, artinya tenteramnya pemikiran.
Rineksa ing kasucen, artinya terjaga karena kesuciannya.
Tatag ing sedya, artinya tegar dan berani dalam mencapai cita-cita.
Manteb ing tekad, artinya mantab didalam bertekad.
Tumata ing wardaya, artinya teratur jalan pemikiranya.
Rasa manunggal marang Gusti, artinya menyatu rasa dengan Tuhan Yang Maha Suci.
Adapun pengertian kata demi kata dalam kalimat KUNCI adalah :
GUSTI INGKANG MAHA SUCI, yang artinya: Tuhan Yang Maha Suci, sebagai tempat berlindung, sebagai asal semua makhluk dan sekaligus sebagai tempat kembalinya semua makhluk.
KAWULA NYUWUN PANGAPURA DUMATENG GUSTI INGKANG MAHA SUCI, artinya: saya memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci, karena sebagai hamba yang selalu berselimutkan dosa, senantiasa harus selalu memohon maaf dan ampun kepada Tuhan Yang Maha Suci dan selalu menyadari akan dosa-dosanya disertai rasa bertaubat tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosanya.
SIROLAH, artinya dzat halusnya manusia yang sumber rasa sucinya berasal dari Tuhan yang Maha Suci, Sirolah inilah yang menjadikan manusia mempunyai naluri kesucian atau fitrah, dan sirolah ini pulalah yang menjembatani hubungan manusia dengan Maha Gaibnya Tuhan Yang Maha Suci, Sirolah adalah unsur terkecil yang sangat halus dan lembut, akan tetapi mempunyai kekuatan yang amat besar.
DATOLAH, artinya dzat ragawi manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Suci, Namun karena raga ini mempunyai banyak kelemahan, maka dari itu harus di jaga dan disayangi. Yang dimaksud lemah dalam hal ini adalah mudah terkena penyakit, mudah terkena musibah dan sebagainya. Maka harus selalu dipelihara sebaik-baiknya. Datolah ini adalah sebagai tempat bersemayamnya sirolah. Didalam Datolah mengandung unsur atau anasir sarinya: api, air, angin dan tanah, yang semuanya dalam wujud ether. Anasir-anasir yang berwujud ether ini apabila digerakkan menurut susunan molekul dan bentuk medan magnet dan diberdayakan orbit nucleus, biasanya dapat menimbulkan tenaga yang besar. Sedangkan cara menggerakkan ethernya adalah dengan membiasakan olah prana dan yama, atau olah pernafasan yang tekun dan teratur.
Ether dari anasirnya api cara membudidayakannya dengan mengendalikan hawa nafsu amarah, atau menurut bahasa jawa, aja gumampang ngandut sak serik, yang artinya jangan mudah memendam rasa marah, dan kata pak kyai, orang sabar adalah yang dikasihi Tuhan.
Sedangkan membudidayakan ether dari anasirnya tanah adalah dengan mengendalikan nafsu makan, dengan cara berpuasa seperti yang diajarkan agama, dan janganlah atau kurang benar kiranya apabila melakukan puasa diluar perintah agama. Maka pengendalian nafsu makan yang baik adalah, makanlah pada waktu makan, cobalah tinggalkan makanan pokok dan sekaligus tinggalkan pula lauk-pauk yang berasal dari unsur hewan. Kebiasaan ini oleh orang jawa dinamakan ngrowot, yang didalam bahasa sanskerta dinamakan AHIMSA. A artinya tidak dan Himsa artinya melakukan kekerasan.
Baik pula dilakukan sehari sebelum, pada harinya dan sehari sesudah hari lahir masing-masing, secara berkala dan lakukan pula saat diri mengalami kesulitan. Ahimsa sebenarnya mudah dan sangat ringan dijalankan. Dan karena boleh makan kapan saja, maka tidak boleh disebut puasa diluar perintah agama. Yang kadang-kadang dianggap berat dalam melakukan ahimsa adalah tidak boleh marah selama menjalankanya. Apabila terpaksa marah sebaiknya dibatalkan dulu, dan lakukan kali lain. Pantangan terberat kedua adalah tidak boleh membunuh hewan sekecil apapun secara disengaja. Ini semua karena mengambil pengertian bahwasanya Ahimsa artinya tidak boleh melakukan kekerasan.
Sedangkan cara membudidayakan ethernya anasir air adalah dengan melakukan latihan pengendalian nafsu birahi, dalam arti tidak boleh sembarangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resminya, dan jangan pula melakukan hubungan seksual pra nikah.
Bagi yang sudah berumah tangga, lakukanlah hubungan suami istri sebagai kewajiban nafkah bathiniah dan demi kelangsungan melestarikan jenis. Maka lakukanlah hubungan seksual itu dengan memperhatikan waktu dan tempat yang terhormat. Waktu yang tepat untuk itu adalah lewat tengah malam. Karena pada saat itu sudah cukup waktu beristirahat, maka kecil kemungkinan untuk diganggu oleh apa dan siapapun juga. Karena orang yang berbudaya, didalam melakukan hubungan seksual, akan hilang konsentrasi manakala ada gangguan sedikit saja.
SIPATOLAH, artinya adalah segala sesuatu yang membentuk dasar-dasar perilaku atau tempramen manusia, berasal dari Tuhan Yang Maha Suci. Apabila Sirolah dan Datolah itu mengandung ether-ether sumber energi, maka sipatolah berfungsi sebagai alat penggerak dari energi itu, sesuai dengan sifat peralatan yang ada serta dibudidayakan dapat bergerak sesuai dengan medan magnet dan orbit nucleusnya, maka terbentuk penimbunan tenaga dalam bentuk daya linuwih atau kemampuan supranatural serta membawa sifat-sifat paranormal yang berlaku untuk semua manusia tanpa kecuali, asal mau membudidayakanya.
Karena gerakan energi ether-ether tadi sifat dan bentuknya menyerupai gelombang radiasi yang mirip dengan medan magnet. Dimana sifat dan bentuk tadi berbeda-beda sifat khususnya untuk setiap orang, sesuai dengan jati diri masing-masing. Energi tersebut ada yang menyebutnya daya magnetisme tubuh atau bio elektrisitet. Antara magnetisme tubuh dan bio elektrisitet sering dipadukan dalam satu pengertian yang disingkat MB.
Apabila MB bekerja atas dasar naluri dan ditambah dengan kemauan yang positif, maka arah getaran dan frekuensinya akan menuju ke hal-hal yang positif juga. Keberhasilan dari itu semua, atau tinggi rendahnya tingkat keberhasilan sangat tergantung dari bagaimana perilaku orangnya, dalam arti tergantung kemantapan, kesungguhan dan ketelatenan. Maka kadang-kadang dari satu kelompok latihan yang satu ajaran dan satu tingkatan, hasilnya akan berbeda-beda tiap individu.
Salah satu unsur dari Sipatolah adalah naluri. Dimana apabila naluri ini juga dilatih dengan cara tersebut, bisa membentuk kekuatan supranatural juga. Contoh nyata dari kekuatan naluri yang biasanya akan timbiul dengan sendirinya, tanpa disadari dan tanpa pelajaran apapun, yakni bentuk kekuatan yang timbul karena hal-hal yang mendesak, yang karena keadaan memaksa atau mendadak tadi, lalu mendorong seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu.
Misalnya pada waktu memberikan pertolongan pada korban kebakaran, untuk mengangkat satu almari penuh isi, satu orang sekali angkat sambil berlaripun dapat dengan mudah dilakukan, dimana apabila dalam keadaan normal orang tersebut tidk mampu mengangkatnya. Contoh lain misalnya seorang pencuri yang kepergok dan dikejar massa, akan dapat dengan setengah sadar melompat jauh atau meloncat tinggi melebihi kemampuan biasanya. Atau lagi apabila seseorang yang secara kebetulan nalurinya mengatakan, bahwa pada hari itu akan ada tamu penting, ternyata benar, meskipun sebelumnya belum ada pemberitahuan.
Demikianlah sekedar contoh kekuatan naluri yang juga dimiliki pula oleh hewan. Kelompok lebah misalnya, dia akan menjauh apabila didekatnya ada kepulan asap api. Karena nalurinya mengatakan, hutan tempat mereka hidup, akan terbakar. Demikian itu lebah mampu membaca suasana hanya dengan kemampuan nalurinya, yang tidak berdasarkan nalar dan fikiran, karena memang mereka tidak memilikinya.
KULA SEJATINING SATRIYA/WANITA, artinya saya sebenarnya satria/wanita yang seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya atau didalam bahasa jawa disebut: Wani ngayahi pakaryane Gusti, atau berani menjalankan pekerjaan Ketuhanan, dengan berlandaskan kemampuan didalam “Anggelar lan Anggulung” isine Kunci, dalam arti tahu apa yang tersirat dan tersurat didalam Kunci.
Disamping itu harus bisa menjalankan makna filosofis dari kata Satria. Yang asalnya dari akronim Sad Tri dan Ya. Sad artinya enam, Tri artinya tiga dan Ya artinya sanggup. Enam yang dimaksud adalah: eling, percaya, mituhu, sabar, rila lan narima. Yang artinya kepada Tuhan kita selalu ingat, percaya dan taqwa yang didasari rasa sabar, rela dan menerima. Tentang hal ini uraian yang lebih mendalam akan penulis sampaikan pada tulisan lain.
Sedangkan tiga hal yang terkandung dalam Tri antara lain: Tuhan Yang Maha Esa, Para UtusanNYa dan Manusia itu sendiri. Yang boleh juga dikatakan : Sukma Kawekas, Sukma Sejati dan Roh Suci. Dan kadang-kadang orang menganalogikan dengan Allah, Rasul dan Muhammad atau Bapa, Putra dan Roh Kudus. Atau dengan pengertian yang sangat sederhana dikatakan: Tuk ing Urip, Kang Nguripi lan Kang Diuripi. Yang tersirat didalam Tri tadi adalah kesanggupan menjalankan perintah Tuhan, melalui Utusanya Yang Bersifat Langgeng, agar menjadi manusia yang baik.
Apabila semua yang tersirat dan tersurat didalam Kunci, dapat dilaksanakan dengan penghayatan yang paripurna, maka orang tersebut bisa mencapai tataran Adi Kodrati atau kemampuan supranatural atas nama sang adhiatma. Dan konon kelak bisa Moksa disaat kematianya.
Adi artinya berlebih, atma artinya jiwa. Jadi adiatma artinya manusia yang hidupnya berkelebihan sifat jiwa besarnya dan tinggi didalam rasa dan naluri Ketuhananya. Sedangkan Moksa artinya memperoleh kebebasan jiwa dari belenggu hawa nafsu duniawi.
Menurut kepercayaan, percikan cahaya hidup dari Adiatma, bisa membias pada orang biasa yang juga dapat disebut seseorang menjadi Awatara atau titisan Adiatma. Untuk memperoleh titisan Adiatma tidaklah mudah, karena hal itu bukanlah hal yang dapat diperoleh secara kehendak hati dari yang bersangkutan dan dirinya tak benar-benar memproklamiskanya, dalam arti tidak benar bahwa seseorang adalah titisanNya.
Ciri-ciri titisan Adhiatma adalah sebagai berikut:
Selalu mendahulukan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan, Keadilan dan kebenaran diatas kepentingan pribadinya.
Kerap kali dikabulkan doanya, itu semua karena dekatnya rasa menyatu dengan Tuhannya.
Tinggi rasa Ketuhananya dan memahami Ilmu Ketuhanan walaupun tanpa berguru sekalipun, itu semua berkat dorongan nalurinya yang murni dan hal itu seakan akan suatu pembawaan, maka apabila dia memperoleh tuntunan Ilmu Ketuhanan dari guru misalnya, kemungkinan gurunya itu akan kalah tingkat rasa Ketuhanannya.
Tidak merasa bisa atau tidak pernah merasa memiliki ilmunya, akan tetapi sebaliknya selalu merasa masih banyak ilmu Ketuhanan yang perlu dipelajari dan diamalkanya, secara singkat didalam bahasa jawa dikatakan: ora rumangsa bisa nanging bisa rumangsa.
Banyak dicintai oleh sesama manusia, baik pria, wanita, tua, muda dan anak-anak. Karena tidak pernah membeda-bedakan kemajemukan latar belakang kehidupan pribadi setiap orang.
Bersedia menolong kepada sesamanya, walaupun kebetulan kepada orang yang kebetulan membenci dan memusuhinya. Dan dari semua ciri-ciri yang terakhir dan tersendiri adalah:
Ada ciri-ciri khusus pada bagian-bagian badanya, berupa bercak merah keungu-unguan pada ketiak, atau bercak keputih-putihan pada lidahnya. Dan masih ada ciri-ciri lain yang tak dapat disebutkan disini, dimana atas ciri-ciri ini, dia sendiri tidak mengetahuinya sebelum diberi tahu oleh orang lain.
Dari ketujuh ciri-ciri titisan adiatma tadi yang penulis sebutkan terakhir, akan penulis paparkan pada tulisan atau kesempatan lain. Maka dari itu pengertian yang menyangkut dari ketujuh ciri-ciri tersebut apabila kurang satu saja dari antaranya, maka orang tersebut tidak bisa disebut titisan adiatma.
Berdasarkan teori teori sebab akibat atau Hukum Karma atau juga Karma Pahala, semua manusia kata orang Jawa akan “ngundhuh wohing panggawe”. Atau akan memetik buah dari perbuatanya sendiri. Karma artinya hukum yang mutlak, dan pahala artinya buah dari perbuatanya sendiri. Karma dari perbuatan yang baik disebut Subha Karma dan Karma dari peri laku jelek disebut Asubha Karma.
Subha Karma yang paling baik adalah apabila seseorang berhasil mati Moksa. Moksa berasal dari kata Mukti yang berarti terbebas dari belenggu hawa nafsu, seperti telah penulis singgung didepan. Dan Asubha karma terjelek adalah apabila mati seseorang menitis pada hewan.
Apabila seseorang berhasil mati Moksa, kepada Atma orang tersebut akan terbebas dari belenggu Samsara, yaitu harus menitis ke dunia, sebagai manusia lagi, dimana hidup didunia penuh derita dan samsara yang selanjutnya disebut sengsara dengan segala resiko kehidupan dunia. Sedangkan Atma dari seseorang yang mati Moksa, akan menyatu kembali kepada Tuhan dan tidak menitis lagi, kecuali ditugaskan oleh Tuhan.
Sebenarnya semua manusia diberi kesempatan untuk mati Moksa. Asalkan memenuhi syarat perilaku didalam hidupnya, yang sebagian seperti yang tersurat dan tersirat pada kalimat Kunci. Dan untuk mencapai tataran mati Moksa, semua orang oleh Tuhan diberi kesempatan menitis untuk merubah peningkatan perilaku kebaikan didalam hidupnya sampai dengan tujuh kali peringatan dariNya.
Tentang penitisan sampai tujuh kali, apabila dijelaskan secara sederhana adalah sebagai berikut:
ADI DAIWA
Yaitu Adiatma yang tanpa melalui proses menitis satu kalipun. Mungkin diciptakan demikian oleh Tuhan, untuk menjalankan tugas-tugas Ketuhanan. Adhi Daiwa diturunkan ke bumi sebagai utusanNya yang bersifat langgeng, dan kepadanya diberikan oleh Tuhan, suatu keajaiban-keajaiban diatas rata-rata manusia biasa. Pada pagelaran cerita pewayangan, orang tersebut dinamakan Maha Resi.
ADHI BATHARA
Yaitu manusia yang Atmanya berhasil lulus pada penitisan satu kali saja. Dalam arti menitis satu kali dan dapat menjalankan Subha Karma didalam hidupnya. Di dalam masa hidup yang hanya menitis satu kali itu, orang tersebut menjadi tokoh spiritual yang disebut Resi, kira-kira setingkat di bawah Maha Resi.
ADHI JAWATA
Yaitu Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak dua kali dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha Karma. Karena pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru pada penitisan yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan dalam nilai keluhuran budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua kali itulah dia akan terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai kemampuan spiritual setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah Resi.
ADHI BRAHMANA
Yaitu atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan tiga kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh spiritual yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.
ADHI KSATRIA
Adalah atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang keempat. Kelak akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal menjadi ponggawa negara atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada penitisan yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah dapat disebut Adhiatma.
ADHI WAISYA
Adalah Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang menjalani keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad manusia yang bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin, seniman dan sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran budi pekerti, kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi manusia dalam kelompok Adhi Ksatria.
ADHI SUDRA
Adalah Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya kurang, maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang yang rendah derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi Sudra didalam hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi Adhi Waisya.
ADHI BHUTA
Yaitu atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya pada penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan yang terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai keluhuran budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan menitis pada manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari pada Adhi Bhuta, yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok Adhi Bhuta adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh ataupun pemerkosa.
Maka apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi Bhuta, sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang bernilai keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan pelestarian alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi Sudra. Dan sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik, kelak bila mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.
Sebaliknya apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi Ksatria, Adhi Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu mengamalkan keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan mengutamakan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan hidup, maka kelak akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk peningkatan penitisan paling tinggi.
Karena manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa, sekalipun dalam hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan sebagai Adhi Bathara didalam menjalankan nilai keluhuran budi pekerti untuk mempertahankan agar dirinya tidak anjlog didalam penitisan berikutnya. Oleh karena Adhi Daiwa, seperti dikatakan terdahulu, diciptakan langsung begitu saja untuk diturunkan kebumi sebagai utusan Tuhan.
Dari sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul aliran kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon maaf, dari uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai istilah ajaran agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama Islam. Dan maksud dari tulisan ini sebagai salah satu bukti bahwasanya penyerapan khasanah budaya spiritual ataupun kebatinan kadang berakar dari agama dimasa lalu. Namun demikian mestinya tidak perlu berkembang menjadi agama baru. Dan sudah barang tentu tidak perlu pula bersikap seakan-akan menjadi pemeluk agama yang menjadi akar budaya spiritualnya itu, apabila kebetulan bukan agama yang dianutnya.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non fisik dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan sejarah, banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan hanya sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno, mesjid, keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.
Dari uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual Jawa, walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun penulis menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan jaman, kiranya masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris penulis sendiri, itupun bagi yang mau saja.
Dan sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk sebagai bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun dan berurat akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan, misalnya nama-nama instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-kesatuanya dengan mengambil kata atau kalimat yang berasal dari Kitab-kitab Kuno dari agama tertentu.
Dari hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut seperti: Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya Paksi, Bhineka Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina Graha, Tamtama, Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu tanpa disertai sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu diambil.
NYUWUN WICAKSANA, Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan bijaksana ini menjadi pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti. Dan untuk menjadi orany bijaksana haruslah pandai membaca suasana rasa dan perasaan orang, seorang atau sekelompok, di suatu tempat pada waktu tertentu.
Jangan sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak sesuai dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku bijaksana adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu Jiwa Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga akan dapat membaca suasana jiwa seseorang.
Bila bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan seseorang selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum yang benar-benar menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini kecuali orang yang ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat keuntungan jiwa, karena salah satu upaya awet muda adalah murah senyum. Jangan tunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang dilanda konflik misalnya. Jangan sampai sedang marah dengan salah satu anggota keluarga, lalu pada orang lain masih terbawa sikap cemberut dengan muka kecut.
Orang yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula mudah berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang rasa dengan orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang kenal dan suka kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih diantara mereka. Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain selalu membicarakan keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada apa yang telah dimiliki dan menjadi keberhasilanya. Karena sebenarnya semua itu sipat menuju kearah kesombongan. Padahal kenyataanya orang yang sombong, belum tentu benar-benar memiliki apa yang disombongkanya.
Dan sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang haus pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih harus dapat mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan tunjukkan secara semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan prinsip itu. Ambilah celah pembicaraan dan kemukakan secara prinsip dengan disertai dasar-dasar norma permasalahannya. Dengan demikian mereka yang kita ajak bicara akan beranggapan bahwa kita didalam berbicara enak di dengar akan tetapi sulit dibantah.
Mulailah berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara, sesekali pujilah dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan kepadanya apakah anak isteri dan keluarganya sehat-sehat selalu, setelah dia berbicara dengan keakuanya sendiri, pada saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan pujian kepadanya. Sesudah itu baru kita kemukakan maksud kepadanya.
NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi sampurnaning pati. Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan hidup dan kesempurnaan bila mati kelak. Bekal untuk menuju kesempurnaan hidup adalah temen yang artinya bersungguh-sunguh dan bekal untuk menuju agar selamat diakhirat adalah kesucian didalam pikiran dan perbuatan, berlandaskan kehalusan perasaan yang selalu berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.
Jangan sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan mendustai orang lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak mungkin, dan keselamatan didunia dan akhirat jangan pula dilupakan. Berkah yang banyak berupa harta benda yang berasal dari rejeki suci dan halal agar tercukupi hidup sebagai sarana untuk beramal didalam menjalankan keluhuran budi pekerti.
KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATI, yang artinya untuk dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan Yang Maha Satu.
Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib), yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya wanita sejati dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan menitis sebagai Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung isine Kunci.
KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUT, Artinya saya bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari perilaku hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar penitisan pada kehidupan nanti dapat lebih baik.
Maka pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon agar dapat selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang jelek dan bahkan memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan berikutnya dapat meningkat, sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat yang juga disebut Karma Pahala atau yang secara umum disebut sebagai Hukum Karma yang selalu pas antara yang diperbuat dengan akibatnya.
Demikian sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit karena apabila isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan berupa uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal Semua Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning Urip atau Asal Muasalnya Sanmg Hidup.
PAWELING
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar dalam diri ini:
Tumata dayaning raga, yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam arti tidak terlalu membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak berguna akan tetapi dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat berhasil dan berdaya guna sebaik-baiknya.
Tumata dayaning cipta, yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak menghamburkan daya ciptanya dengan cara yang tidak tepat dan dalam bentuk daya cipta yang kurang baik. Maka tidaklah benar apabila daya cipta dipergunakan untuk merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan dengan menjiplak daya cipta orang lain dan tidak menghargai.
Tumata dayaning rasa, yang artinya teratur dan terarah rasa perasaanya. Rasa sedih misalnya, kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha Suci, sebagai bagian Tapa Brata. Rasa gembira kita abdikan kepadaNya sebagai pengakuan atas anugerahNya yang wajib disukuri selalu. Serta jangan selalu menghambur-hamburkan rasa perasaan yang tidak enak, oleh sebab itu janganlah berhenti didalam keadaan ketakutan, kesedihan, kebingungan dan sebagainya.
Apabila merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan mengatasinya. Apabila tidak bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan orang lain dan tidak lupa selalu berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali, luput lan apes yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa kita mohon untuk diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan agar tidak selalu malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya yang bersifat langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh Ismoyo atau sang Guru Sejati.
Didalam pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan yang berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan percikan cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan Cahaya Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa berasal dari kata Div yang artinya cahaya.
Maka kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat dari tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi Daiwa. Dam menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang berkedudukan diatas Adhi Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta langsung oleh Tuhan untuk menjalankan tugas sebagai pamomong gaib para satriya. Roh Ismoyo yang biasa disebut sebagai Romo, kedudukanya diatas Utusan Yang Bersifat Langgeng selain Dia. Begitulah diceritakan didalam pewayangan, dimana wayang adalah sebagai gambaran dari diri manusia.
Namun kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari Romo, disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo dalam Bahasa Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah tafsiran inilah maka sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas tokoh Budaya Spiritual Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya Bapak, lalu dipersamakan dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun dianggap ketitisan Ismoyo atau juga kesinungan. Padahal didepan dikatakan, bahwasanya Ismoyo tidak pernah lahir dan menitis sebagai manusia.
Menurut paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang didalam Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan secara fisik dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi turun kebumi, bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.
Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya Hanyinungi atau silih raga untuk tujuan melindungi, dengan cara memasukkan sebagian kuasa spiritualnya kepada orang yang dipilih dan digunakan untuk itu. Namun demikian tidak sembarang orang benar-benar kesinungan Ismoyo. Dan orang yang kesinungan selanjutnya disebut sebagai Sipat Semar.
Tetapi sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang secara wantah. Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah dan falsafah bagaimana dan siapakan Semar itu.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar artinya tidak jelas benar, penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan sebagainya. Nyata dalam arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada bentuk fisik dari Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan, bahwa semar adalah Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan tekun dan seksama mau menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.
Maka apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan kawruh gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik , disertai sikap sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan wanita sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan lahan bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib mengenai keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat Langgeng. Bukan sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki manusia dan apalagi gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan Perayangan.
Maka seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat bersifat Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling sederhana, dalam penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang yang menguasai pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan bersifat ngemong siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya. Dan salah satu sifat Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan ngemong apa dan siapa yang berasal dari orang atau kelompokyang memusuhinya. Jadi singkat kat seseorang yang bersifat Semar selalu merasa bahwa dirinya tidak mempunyai musuh yang berujud manusia.
Dan digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun carangan Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah menyelesaikan masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan damai dengan kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat menengahi pihak-pihak yang berseteru.
Maka secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu dituntut oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu Ketuhanan, Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu Jiwa, Ilmu udaya Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang disebutkan terdahulu. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan makna Ssemar secara harfiah, sifat Semar universal adanya, dalam arti kapanpun dan dimanapun Sifat Semar bisa ada, sepanjang sepanjang dijaman dan di tempat itu masih ada orang yang memiliki sifat terpuji.
Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya sejati selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur dan sebagai Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang bisa memahami benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur yang berarti embat-embating catur artinya selalu dapat diajak bermusyawarah dan sebagai Dewa diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada yang diemongnya. Dari fungsi Semar sebagai Panakawan dan Batur itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak, cucu, buyut dan seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan sebutan Kakang.
Disamping itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia bergelar Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang Pemelihara alam. Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA FALSAFAH
Untuk memudahkan menarik kesimpulan secara falsafah, baiklah ditarik pesan-pesan kefilsaftan yang terkandung didalam wayang. Didalam cerita wayang, Semar digambarkan sebagai tiga dewa bersaudara, yakni Dewa Antaga, Dewa Ismaya dan Dewa Manikmaya. Selanjutnya Dewa Antaga menjelma menjadi manusia bernama Togog, yang bertugas yang bertugas sebagai pamomong orang-orang “seberang”. Yang dimaksud seberang adalah orang-orang yang perilakunya menyeberang dari nilai keluhuran budi.
Sedangkan Dewa Ismaya menjelma menjadi Semar, yang bertugas sebagai pamomong para satriya yang berbudi luhur. Dewa Manikmaya selanjutnya bergelar Bathara Guru, yang menjadi raja dari para dewa dan bertahta di Jungring Salaka, asal kata Ujung Giri Kailasa atau puncak gunung yang selalu berawan dibukit Himalaya. Hima artinya awan dan laya artinya tempat.
Tiga dewa itu asalnya dari sebutir telur gaib yang mengeluarkan cahaya tapi bukan api. Mungkin semacam bermuatan radiasi, yang melayang-layang diangkasa. Setelah berhasil ditangkap oleh Hyang Wenang, kemudian di”sidikara” maka berubahlah setelah terlebih dahulu tercerai berai. Cangkang telur berubah menjadi Antaga, putih telur menjadi Ismaya dan kuning telur berubah menjadi Manik Maya.
Seterusnya Antaga si sulung, dan Manik Maya si bungsu, sesuai dengan asal muasalnya. Antaga menjadi Togog sebagai pamomong orang-orang yang berwatak kasar, keras dan kuat sesuai dengan sifat cangkang atau kulit telur. Namun demikian selalu dapat dikalahkan oleh para satriya sejati yang selalu diemong oleh Semar, sesuai sifatnya berasal dari putih telur yang bening, tidak mudah dicerna, tidak mudah membusuk, awet dan bersifat melekat. Akan tetapi tidak bisa menjadi embrio.
Maka sifat Semar adalah putih, bening, sulit dicerna, tidak membusuk dan awet. Putih sebagai lambang kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Sulit dicerna dalam pengertian sulit diduga, susah dipahami tak gampang dimengerti jalan pikiranya, sebelum sampai pada akhir permasalahan atau akhir suatu cerita. Tak dapat tumbuh menjadi individu baru dalam arti kehadiranya didunia tidak secara wantah atau secara fisik, tetapi hanyalah pancaran sifat-sifat terpuji atas dorongan rasa Ketuhananya, orang yang berjiwa Semar mempunyai sifat dapat ngemong para satriya sejati yang luhur budi pekertinya.
Cara ngemong dengan pelayanan yang sama, baik dalam keadaan sependapat ataupun dalam keadaan bertentangan denganya, dengan tidak memperhitungkn untung dan rugi, tanpa berpikir untuk memperhitungkan upah, karena ia selalu berpikir bahwasanya pamomong hanya mempunyai kewajiban berderma tanpa memperhitungkan hasil dari derma itu. Karena perbuatan baik tidak harus digembar-gemborkan, karena semua itu merupakan urusan penderma dengan Tuhanya. Dan menanamkan kebajikan tidak seharusnya selalu diingt, tetapi sebaiknya, apabila hutang budi janganlah dilupakan.
Demikian dengan serba sedikit dan sangat sederhana, ingin ikut meluruskan kepada kesalah tafsiran didalam usaha membabar jati diri Sang Semar didalam kehidupan sehari-hari maupun didalam ruang lingkup Budaya Spiritual Jawa, yang terkadang terlanjur menganggap bahwa seseorang atau tokoh tertentu dianggap romo dalam arti Roh Ismoyo oleh para penganutnya dengan pengkultusan yang keliru.
Namun juga tidak menutup kemungkinan ada oknum tokoh spiritual yang secara sengaja memproklamirkan dirinya sebagai orang yang kesinungan Ismoyo secara tidak bertanggung jawab dan agar dirinya selalu dianggap orang yang lebih berkharisma dengan kesinungan Ismoyo tadi, yang pada giliranya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi saja, yang tak urung akan menipu bahkan menjerumuskan pencari berkah.
Dari itulah tulisan kecil ini bertujuan untuk membantu para penghayat Budaya Jawa, agar sedikit dapat membedakan, apakah seseorang benar-benar kesinungan Ismoyo atau hanya di Ismoyo-kan oleh para penganutnya atau hanya pura-pura kesinungan Ismoyo.
Kembali ke pokok masalah didalam uraian tentang PAWELING, bahwa satriya sejati yang sudah bisa menghayati atau mengamalkan Isi Kunci, dengan kemampuan anggelar dan anggulungnya, mereka itu pada dasarnya adalah para putra Romo. Putra dalam arti Puput ing Rasa artinya sudah cukup sempurna dalam olah rasa dengan tujuan angudi manunggaling Gusti Kawula, dan selalu berbakti kepada Romo ingkang pinundhi, yaitu sekali lagi Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, atau Roh Mono yang tidak berujud jasad manusia, yang tidak pernah dilahirkan, dan bukan seperti yang digambarkan didalam cerita wayang.
Dimana di dalam wayang kadang kala juga di plesetkan oleh dalangnya dari pakem yang baku, demi untuk memperoleh popularitas, yang tanpa disadarinya sebenarnya pelecehan pakem juga melecehkan diri Sang Dalang itu sendiri, sebagai tokoh yang wasis ngudal piwulang.
Maka sudah barang tentu Semar bukanlah tokoh perseorangan yang berperawakan gemuk pendek, kuncungan, bergigi satu dan bertelanjang dada, seperti digambarkan didalam wayang kulit atau wayang orang itu. Dan banyak orang yang mengetahui bahwasanya wayang adalah gambaran pengejawantahan suatu tokoh, atau penokohan tertentu saja.
Rinasa dayaning sukma
Yang artinya merasakan daya sukmanya sendiri, dalam bentuk getaran atma atau getaran rasa sejati. Dan seseorang yang merasakan getaran sukmanya sendiri, pada tingkatan tertentu, dapat merasakan begitu cepatnya perjalanan sukma itu, sepadan dengan getaran yang diupayakan didalam olah getaran rasa sejati. Seseorang yang sudah mampu melakukan hal tersebut diatas, apabila sedang berkonsentrasi, maka apa saja yang disentuhnya dapat dijadikan sarana, apa yang dikatakan akan menjadi sabda, dalam arti kata-kata tertentunya mengandung kekuatan spiritual dan kelak akan ambabar dumadi, dan apa yang menjadi petunjuknya, apabila dijalankan merupakan suatu laku yang sangat bermanfaat.
Dan apabila orang itu berdekatan dengan orang lain, jadilah saraya, yang artinya dapat mengatasi persoalan yang cukup pelik yang dialami oleh orang yang didekatinya itu. Pendekatan diri orang yang sudah dapat mencapai tataran tertentu didalam olah rasa, orang yang didekatinya itu alamat bakal memperoleh guna, banda wiryo artinya ilmu, harta benda dan kemuliaan.
Didalam berkonsentrasi, orang tersebut, dapat menggunakan sarana apa saja sebagai media komunikasi dengan hal-hal yang bersifat gaib, hal ini sesuai dengan prinsip yang tertera didalam SINGKIR, “hananira hananingsun” maka dengan sendirinya wujudira wujudingsun dan rasanira juga rasaningsun, sesuai dengan semboyan yang dipakai oleh Departemen Sosial, “TAT TWAM ASI” yang artinya itu adalah diriku.
Kata demi kata yang terkandung didalam paweling adalah:
Siji-siji, loro-loro, telu telonana, maksudnya, apabila sudah bisa membaca Kunci dalam arti mampu anggelar lan anggulung, serta wis tumata dayaning raga, disebut sudah sampai pada tataran siji. Apabila sudah sampai pada tataran tumata dayaning citpa, dianggap mencapai tataran loro, dan apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, disebut sudah mencapai tataran tiga.
Siji sakti yang artinya kesatu kuat. Hal ini apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning raga, akan menyebabkan atau menimbulkan kekuatan.
Loro dadi artinya dua menjadi, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning cipta, apa yang diangan-angankan akan menjadi kenyataan.
Telu pandita yang artinya tiga pendeta, maksudnya apabila sudah mencapai tataran tumata dayaning sukma, dianggap sudah mulai bisa mendekatkan rasa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sudah mencapai tataran Rinasa Dayaning Sukma sendiri.
Siji wahyu yang artinya kesatu anugerah, didalam mencapai tataran satu, itu merupakan anugerah. Karena sulit dicapai dan tidak sembarang orang dapat melakukanya. Sebab betapa sulitnya mengatur semua bagian-bagian raga agar dapat difungsikan sebagai olah gaib menyatukan diri dengan keberadaan Tuhan.
Loro rejeki, yang artinya kedua rejeki. Maksudnya adalah, apabila sudah mencapai tataran yang kedua, akan membawa kewajiban harus kerap kali bersyukur atas segala berkah yang telah diberikan oleh Tuhan, yang pada giliranya akan memberikan petunjuk kearah perolehan rejeki, yang kadang-kadang diluar dugaan yang diperkirakan. Mungkin perolehan itu relatif besar, dimana selama ini perolehan seperti itu belum pernah didapatkan. Sesuai dengan bunyi doa: nyuwun sandang ingkan dereng nate kaangge, nyuwun pangan ingkan dereng nate katedha. Yang artinya memohon sandang yang belum pernah kita memakainya dan memohon pangan yang belum pernah kita memakanya.
Telu Gat Rahina, yang artinya ketiga pagi ufuk biru. Yang maksudnya adalah, sikap selalu menganggap atas segala sikap yang pernah dialami merupakan gambaran seperti datangnya pagi di ufuk biru, dimana selalu menjanjikan terbitnya matahari kehidupan yang selalu akan lebih baik dimasa yang akan datang dibandingkan masa kini. Dikarenakan pada tataran yang ketiga, yaitu Rinasa Dayaning Sukma, akan selalu terasa tidak ada kebahagiaan kecuali merasakan daya sukmanya sendiri, didalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Suci.
SINGKIR
Diantara kunci dan singkir, kata-kata didalam kalimatnya hampir sama. Perbedaanya terletak pada kalimat: HANANIRA HANANINGSUN, yang artinya keberadaanmu juga keberadaan diriku. Dari kalimat inu muncul pengertin bahwasanya semua makhluk didunia ini berasal dari Tuhan Yang Maha Satu. Oleh karena satu asal maka kamu adalah aku.
Maka pada dasarnya isi singkir hanya diperuntukkan memancarkan rasa kasih sesama manusia yang berasal dari kasihnya Tuhan Yang Maha Pengasih. Namun sebaliknya, kita tidak perlu mengasihi sesuatu yang tidak boleh kita kasihi yaitu reruwet rubeda. Dan yang menjadi biangnya reruwet dan rubeda adalah hawa nafsu yang ditunggangi setan. Maka titik pusat yang perlu disingkirkan adalah hawa nafsu dan setan. Tak lain adalah hawa nafsunya sendiri.
Menurut pandangan Budaya Spiritual Jawa, setan yang menggoda hawa nafsu merasuki jiwa melalui panca indera. Dan biasanya karena godaan yang berhasil ditanggapi oleh panca indera itulah seseorang berbuat kurang terpuji. Maka sementara orang mengambil kesimpulan bahwa setan secara wantah adalah panca indera dan secara non fisik adalah hawa nafsu.
Dan apabila ada orang yang beranggapan bahwa setan ada yang menggoda manusia pada waktu sedang tidur, berupa gangguan-gangguan didalam mimpi, sampai orang tersebut tampak ketakutan. Banyak orang yang beranggapan bahwa mimpi adalah proses pengulangan pada waktu seseorang mengalami konflik kejiwaan sewaktu melek, yang terbawa-bawa kedalam mimpi.
Konflik kejiwaan sebagai akibat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat yang dikarenakan semua orang berbeda kepentingan. Dan secara naluri semua orang mempunyai kecenderungan memaksakan kehendaknya kepada orang lain, sekali lagi atas dorongan hawa nafsu tadi. Disinilah sedikit bukti bahwasanya setan itu adalah hawa nafsu.
Selain itu setan penggoda manusia yang berada ditempat-tempat yang dalam, tinggi, besar seperti jurang, gunung, hutan dan sebagainya. Itu semua sebenarnya adalah hasil reproduksi atau penerusan dari apa yang dilihat dengan kesan menakutkan, maka secara otomatis akan terbentuk rupa bayangan yang timbul dari angan angan seperti yang ditakutkan. Maka pada saat itu pulalah terjadi tipuan pandangan.
Segala sesuatu yang masih ada hubunganya dengan angan-angan, apabila tidak dikendalikan akan merebak dan mendesak pikiran. Maka setan dalam hal ini juga berasal dari hawa nafsu.
Setan yang menggoda pada saat manusia menjelang datang ajalnya, hanya merupakan baying-bayang kesan masa lalu. Misalnya dirinya merasa bersalah dengan seseorang, maka pada saat itu, terbentuk bayangan seakan-akan orang yang disalahi tersebut datang akan memukulnya dengan membawa senjata dan sebagainya. Jelaslah asal setan dalam hal ini juga dari hawa nafsu.
Demikian seklumit pandangan tentang setan menurut Budaya Spiritual Jawa. Sedangkan setan menurut pandangan agama, penulis kurang tahu secara benar. Oleh sebab pada masa kecil penulis, pernah berguru mengaji kepada Ustad didepan rumah, kebetulan Ustad setiap kali ditanya secara mendetail, dengan nada agak marah beliau berkata: “Apabila ingin melihat setan, silahkan panjat pohon dan jatuhkan dirimu…”
Pendek kata yang beliau ajarkan harus diterima apa adanya secara dogmatis, tidak boleh dibantah, begitu ya begitu, begini ya begini. Akan terapi maaf, bukan berarti penulis menganggap ajaran agama adalah dogmatis. Mungkin secara kebetulan saja wawasan yang dimiliki oknum Ustad tadi pas-pasan. Pun juga bukan berarti penulis akan membanding-bandingkan, mencari perbedaan dan mempersamakan antara agama dengan Budaya Spiritual Jawa. Penulis berprinsip bahwasanya agama adalah Wahyu Illahi, sedangkan budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya manusia berdasarkan tempat dan waktu.
Kembali pada pokok masalah, bahwa yang perlu disingkiri adalah reruwet dan rubeda, yang artinya keruwetan dan godaan. Apabila keruwetan dan godaan itu datangnya dari setan, dan setan selalu identik dengan hawa nafsu, maka yang perlu disingkiri adalah hawa nafsu itu sendiri. Yang dimaksud adalah hawa nafsu sendiri yang dikendalikan dengan tepat, termasuk pakarti hawa nafsu yang datang dari luar diri sendiri, seperti dinasehatkan oleh tembang mijil yang dalam satu syairnya berbunyi: “Bapang den simpangi, ana catur mungkur…” yang artinya apabila melihar gelagat seseorang sedang berhawa nafsu, sebaiknya ditinggal pergi saja.
Kalimat Singkir selanjutnya adalah: SIRA MATI DENING SATRIYA/WANITA SEJATI, yang artinya: kamu mati oleh satriya/wanita sejati. Yang dimaksud Sira (kamu) disini adalah hawa nafsu tadi, yang tak lain adalah hawa nafsunya sendiri yang senantiasa harus diperangi. Seperti kata Pak Ustad, menurut riwayat, usai Perang Badar, yang meminta banyak korban, Nabi berkata bahwa masih ada perang yang melebihi Perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Karena memang nyata benar bahwa hawa nafsu adalah musuh bebuyutan manusia, yang apabila tidak tepat pengendalianya, manusia tidak dapat “padang paningaling sukmane”.
Padahal hambatan pada keadaan “padang paningaling sukmane” adalah juga halangan yang nyata apabila kita bermaksud ingin bersembah kepada Tuhan, apabila masih membawa hawa nafsu, jadinya kita kurang hening yang bisa berakibat kurang sambung atau kurang komunikatif. Karena apabila boleh penulis umpamakan, seandainya Tuhan adalah orang yang bercermin dan diri ini adalah bayangan didalam cermin sedangkan hawa nafsu adalah cerminya, maka bila cermin penuh kotoran, sudah barang tentu bayangan menjadi kurang jelas. Menjadikan kita tidak mampu melihat kajatene Gusti. Dan sekali lagi kata Pak Ustad: “apabila masih membawa hawa nafsu, menjadikan kita tidak bisa Makrifatullah”.
Begitulah adanya, pakarti hawa nafsu manusia diharapkan dapat disingkirkan atau dikendalikan oleh satriya sejati/wanita sejati yang selalu bermaksud ingin mencapai tataran Adhi Atma dengan dapat menyuarakan, menghayati dan mengamalkan: KUNCI, PAWELING, SINGKIR, MIJIL dan ASMA SEJATI, baik secara gelar maupun secara gulung atau secara tersurat dan tersirat.
Selanjutnya didalam singkir masih ada kalimat yang berbunyi: KETIBAN IDUKU PUTIH SIRNA LAYU DENING…(asma sejati atau jati diri dari atmanya orang yang menyuarakan singkir). Yang dimaksud iduku putih disini adalah sucinya perkataan, perbuatan dan pikiran yang seharusnya dimiliki oleh semua calon Adhi Atma, yang berkewajiban anindakake Pakaryane Pangeran atau menjalankan pekerjaan-pekerjaan Ketuhanan, dengan dilandasi mulat sarira hangrasa wani atau mengoreksi kemampuan diri sendiri, sebagai modal berani bertindak dan berkarya.
Tiga kesucian tersebut seharusnya secara jelas tergambar didalam perilaku sehari-hari, sebagai tolok ukur dapat dan tidaknya seseorang dianggap sebagai calon Adhi Atma. Dan barang siapa yang anindakake pakaryane Gusti, dan selaras dengan sifat-sifat Ismoyo, maka dia boleh dianggap sebagai calon Adhi Atma, yang kelak juga menyandang tugas-tugas spiritual pada saat menjalani masa hidup, sesuai dengan tingkatan tataran, lingkungan dan jamanya.
MIJIL DAN ASMA SEJATI
Antara Mijil dan Asma Sejati, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya mijil itu adalah mijilake mijilake Asma Sejati. Yang dimaksud adalah mengeluarkan dayanya Asma Sejati yang merupakan identitas dari roh orang yang bersangkutan, dalam arti berupaya memberdayakan secara lebih, daya sukma yang sebenarnya, untuk tujuan-tujuan tertentu yang ada hubunganya dengan peri laku jiwa raga sehubungan dengan upaya anggelar lan anggulung isine Kunci.
Yang jelas secara kenyataan, memang apabila mijilake Asma Sejati dapat dijalankan dengan seksama, akan menimbulkan getaran rasa sejati, dimulai dari rasa merinding seperti merindingnya sehabis buang air kecil, atau kadang-kadang rasa merinding seperti itu sama seperti itu sama seperti bila kita sedang dilanda rasa takut terhadap sesuatu.
Secara anatomis atau ilmu urai tubuh, rasa merinding itu bermula dari pusat susunan saraf motorik, atau saraf penggerak yang biasanya bergerak atas dasar rangsangan perintah gerak dari pusat susunan saraf otak. Namun dalam hal ini gerakan yang menimbulkan getaran rasa merinding itu tidak dimulai atas perintah berupa rangsangan dari susunan saraf otak, akan tetapi gerakan itu timbul sebagai akibat adanya konsentrasi atau pemusatan pikiran hanya kepada Tuhan, dan dorongan itu langsung menuju saraf motorik.
Pada giliranya rasa merinding itu akan berkembang menjadi gerakan seluruh badan, dimana gerakan itu bukan atas kesadaran merasa ingin bergerak, akan tetapi gerakan dari getaran itu dibawah kesadaran dan kadang-kadang apabila gerakan atas getaran itu terlalu kencang dan diri kita dengan sadar berniat menguranginya, seakan-akan kita tidak mampu mengendalikanya. Jelasnya gerakan didalam getaran itu timbul begitu saja, sesaat sesudah Mijilake Asma Sejati yang beberapa kali diwatek. Dan kadang-kadang getaran yang ditimbulkan oleh alat pada mulut, menimbulkan suara mendesis dan suara lain yang tidak jelas kata-katanya.
Semua itu terjadi apabila kita Mijilake Asma Sejati dengan maksud arsa Beksa Beksanira Pribadhi, yang artinya bermaksud menari tarianya sendiri. Tarian disini lebih tepat dikatakan sebagai tarian sakral atau semacam gerakan yoga yang timbul secara spontan atau timbul dengan sendirinya. Kata “mu” didalam tarianmu dimaksudkan atau ditujukan kepada Asma Sejatinya sendiri. Sebagaimana raga memberikan perintah kepada Asma Sejati sebagai jati diri dari sukma orang bersangkutan dan segera saja Asma Sejati menjalankan perintah raganya.
Besar kecilnya spectrum yang ditimbulkan, sangat tergantung dari banyak sedikitnya jumlah getaran per detik dari orang yang melakukan mijil tadi. Apabila getaran per detik disebut frekuensi, maka jumlah frekuensi itu juga tergantung dari tingkat kemapanan didalam pemusatan rasa hening atau tingkat kemampuan konsentrasi. Tingkat konsentrasi sangat tergantung dari kemantapanya, kondisi fisik, jumlah pembiasaan, keadaan lingkungan dan tingkat keilmuannya. Itu semua juga kadang-kadang terpengaruh oleh pembawaan atau kebakatan orang tersebut.
Mijil arsa beksa beksanira pribadhi merupakan upaya memperoleh getaran yang meliputi sekujur tubuh. Bentuk getaran yang ditimbulkan juga berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jati diri memiliki identitas dan kekhususan tersendiri.
Apabila sudah paham benar didalam olah getaran didalam mijil arsa beksa beksanira pribadhi, yang merupakan getaran yang meliputi seluruh tubuh, maka selanjutnya boleh melatih diri dengan gerakan didalam getaran pada tiap bagian-bagian tertentu, dimana gerakan pada bagian-bagian tertentu ini, ada yang menganggap gladen (latihan) ilmu kekebalan, atau ilmu tenaga dalam yang juga disebut aji-aji atau ajian, walaupun itu belum tentu benar.SEDIKIT TENTANG TENAGA DALAM
Kekuatan tenaga dalam atau sering disebut tenaga murni atau tenaga inti juga kekuatan sejati dan ada juga yang menyebutnya tenaga gaib dan sebagainya itu, berasal dari hasil pembudidayaan dari hasil pembudidayaan dari daya kekuatan dari apa yang disebut Bayu Sejati, dimana semua orang memilikinya. Apa yang disebut bayu sejati, erat kaitanya dengan apa yang dinamakan oleh Penghayat Budaya Jawa sebagai Kadang Papat Kalimane Pancer.
Sesungguhnya kawruh tentang kadang papat lima pancer it hanya suatu perwujudan dari sejenis Ilmu Jiwa (khas) Jawa. Tidak ubahnya tentang kawruh kebudayaan mengenai perhitungan hari baik untuk berkhajat yang sampai sekarang sebagian kalangan masih mepergunakanya. Biasanya disebut perhitungan hari dan pasaran yang masih dianggap erat kaitanya dengan peri kehidupan Orang Jawa.
Kawruh khusus di bidang hari pasaran, selanjutnya bisa dikatakan sebagai bagian dari Ilmu Perbintangan atau Astrologinya Orang Jawa, yang tidak berbeda jauh dengan fungsi ilmu perbintangan atau astrologi dari manca negara yang sering digunakan untuk meramalkan nasib.
Berbicara mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer, yang sebenarnya semacam Ilmu Jiwa Jawa itu, yang menguraikan tentang kebakuan sumber daya manusia di bidang pembagian perwatakan atau temperamen manusia itu memang bisa dikelompokkan menjadi empat hal, sedangkan yang kelimanya sebagai penyempurna. Jelasnya tentang kawruh kadang papat lima pancer itu, merupakan pembagian perwatakan didalam Ilmu Jiwa Jawa.
Semua perilaku manusia dianggap terpengaruh oleh kadang papat lima pncer, yang terdiri dari: kadreng, kuwawa, greget lan bisa. Yang artinya kira-kira: kemauan, kemampuan, semangat dan bisa. Apabila disebut dengan Bahasa Jawa Tengahan sebagai: daya ngumbara, daya purba, daya wasesa lan daya wasis. Dan jika disebut dalam Bahasa Jawa Kuno adalah: daya netra, daya lodra, daya ludira, lan daya grana. Manakala disebut dalam bahasa arab kira-kira: sufiya, luwamah, amarah dan mutma’inah.
Jelasnya kawruh tentang kadang papat lima pancer itu adalah pembagian perwatakan manusia. Dimana semua manusia memiliki, memakai dan merasakan tanpa kecuali. Baik dia Orang Arab, Belanda, Cina maupun Orang Jawa. Dimilikinya hal tersebut diatas juga tanpa mengenal batasan apakah mereka memeluk Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha ataupun Penghayat kepercayaan Kepada Tuhan YME. Tanpa mengingat pula apakah dia cocok atau tidak dengan kawruh tersebut.
Hanya saja yang perlu diingat, watak Orang Jawa itu pada umumnya ramah dengan penuh rasa kekeluargaan, memanusiakan manusia dan menghormati orang lain. Memanusiakan disini yang dimaksud adalah nguwongake. Kadang-kadang bukan manusia saja yang sering diuwongake. Juga walaupun bukan tokoh personal, bukan bangsanya lelembut, bukan dhedhemit, bukan jin peri perayangan, bukan pula arwah gentayangan, semua sering diuwongake.
Karena pada umumnya Orang Jawa sering senang menggunakan gaya bahasa personifikasi, hal-hal yang bukan person seakan-akan dipersonkan. Maka yang disebut hawa nafsu sufiyah, luwamah, mutmainah dan amarah juga dipersonifikasikan. Maka apabila hawa nafsu dinamakan kadang atau saudara disebabkan karena sifat nguwongake tadi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa hawa nafsu tersebut digunakan terus selama hayat dikandung badan.
Malahan gaya personifikasi Orang Jawa diberlakukan pada hewan, tumbuhan dan benda mati. Misalnya kucing diberi nama si manis, anjing dipanggil si bekti, kerbau ada yang bernama trubus dan sebagainya. Benda mati berupa senjata, kereta, gamelan dan sebagainya yang berada di Keraton Yogyakarta dan Surakarta bukan saja diberi nama namun masih ditambah kata sandang Kyai didepan nama tersebut. Namun sudah barang tentu bukan Kyai dibudang agama. Dan ada pula Orang Jawa yang mengatakan “wah Kyaine liwat” manakala melihat harimau sedang berlalu.
Bukan saja manusia yang dimanusiakan, maka kepada manusia yang sebenarnya, lebih-lebih dimanusiakan, walaupun kepada orang yang menganggap laku Orang Jawa sebagai musyrik, munafik dan klenik. Orang tersebut tetap dihormati dan dibuat senang hatinya. Bila perlu apabila kita dimintai pertolongan ya di tolong juga. Demikian itu sikap Njawani.
Lalu bagaimana jelasnya mengenai kawruh tentang kadang papat lima pancer yang sering dihubung-hubungkan dengan adanya kawah, ari-ari, puser lan getih itu? Kesemuanya itu merupakan perwujudan fisik. Orang Jawa bilang blegere dat, yang dianggap mempunyai daya dibalik pisiknya, sebagai sifat. Dikatakan dalam Bahasa Jawa dat anggawa sipat (dzat membawa sifat).
Maka kawah sebagai dat mempunyai sifat purba, ari-ari mempunyai sifat wasesa. Puser sebagai dat mempunyai sifat wasis dan getih membawa sifat ngumbara. Proses mengenai dat dan sifat ini dipengaruhi oleh daya naluri yang berkembang menjadi nalar, akan membentuk sifat di dalam perilaku.
Dat dan sifat akan membentuk naluri dan perilaku, setelah mengalami proses pralina terlebih dahulu. Pralina artinya sudah tidak berwujud lagi akan tetapi tidak hilang. Proses pralina ini terjadi karena apabila bayi sudah lahir dan sampai dewasa, kadang papat secara fisik sudah tidak dipergunakan lagi. Karena kawah sudah dikumbah, getih wis ngalih, puser wis diunder lan ari-ari wis di rukti atau dibenamkan layaknya perlakuan kepada jenazah.
Menurut teori ilmu alam, berlaku hukum keabadian untuk zat dan energi. Maka segala macam bentuk fisik tak akan hilang walaupun tidak terlihat lagi, karena mengikuti proses siklus didalam berdaur ulang.
Didalam proses pralina, metapisis dari kadang papat terlebih dahulu berubah wujud menjadi ether yang merupakan bentuk halusnya metaphisik. Kata ether didalam Bahasa Jawa disebut Sir. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dat membawa sipat dan semuanya tercakup didalam sir. Maka kemudian ada sebagian Penghayat Kebudayaan Jawa yang sering menyebut-nyebut Sirulah, Datulah dan Sipatulah.
Ada sedikit bukti bahwa dat membawa sipat, yaitu: mengapa seseorang mempunyai sifat kasmaran, tak lain karena dia mempunyai piranti seksual. Seseorang menitikkan air liur karena melihat mangga muda, sebab tubuhnya sangat membutuhkan Vitamin C. manusia dianggap berperasaan karena didalam tubuhnya ada segumpal hati dan sebagainya.
Oleh karena secara ilmu alam, apabila sesuatu zat mengalami perubahan bentuk dan wujud, pasti didalam perubahan itu menimbulkan energi. Maka perubahan kadang papat pada proses pralina, akan menimbulkan energi berupa dorongan naluri perwatakan dan perilaku, yang juga menimbulkan daya lebih bersifat supranatural yang dimiliki oleh semua orang manakala mau membudidayakanya.
Disamping mempunyai kadang papat yang dapat menimbulkan daya kekuatan naluri, manusia masih mempunyai daya yang melebihi daya dari kadang papat yang biasa disebut bayu sejati yang bersifat sebagai sumber energi metapisis manusia. Bayu sejati bersifat Illahiyah karena asli ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang ditiupkan kepada manusia pada saat jabang bayi berada didalam kandungan ibu pada usia seratus hari. Seumpama kadang papat sebagai pakaian, bayu sejati adalah pemakainya. Dan bayu sejati inilah yang disebut lima pancer, yang pernah menjadi kekuatan uwatnya pada saat sang jabang bayi lahir.
Dan sebenarnyalah getaran rasa sejati yang dibangkitkan dengan mijil berasal dari getaran gelombang metapisiknya kadang papat. Selanjutnya getaran yang timbul pada bagian-bagian tubuh, disebut aji, yang artinya terhormat, terpelihara atau rahasia jati diri. Namun janganlah disamakan dengan ajian yang diceritakan di dalam wayang, film ataupun sandiwara radio. Ini semua hanyalah tenaga dalam, yang maksudnya tenaga yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
AJIAN ATAU AJI JAYA KAWIJAYAN
Seperti telah disinggung didepan, bahwa ajian disini bukanlah semacam ilmu kekebalan, atau sesuatu yang menjanjikan kehebatan dan sebagainya. Kata jaya kawijayan artinya jaya adalah kuat dan kawijayan adalah kekuatan. Kuat dan kekuatan disini dengan tolok ukur seberapa kuat orang tersebut didalam mengendalikan hawa nafsu, yang konon merupakan musuh bebuyutan manusia.
Dan selanjutnya getaran yang timbul dari sumber dayanya kawah akan membentuk aji wijaya mulya, wijaya kusuma, yang berada di telapak tangan kanan dan kiri. Sedangkan antara jempol dan telunjuk tangan yang disebelah kanan akan menimbulkan aji ismu gunting dan yang disebelah kiri disebut aji ismu dhateng. Aji madiguna berada pada tulang ekor dan sebagainya, ini semua hasil dari pengendalian nafsu supiyah.
Getaran yang berasal dari metapisiknya luwamah, membangkitkan aji braja dhenta, yang menempati kepalan tangan. Aji braja musthi berada pada pusat getaran dikepalan tangan kiri. Aji braja wikalpa berada ditelapak kaki kanan. Aji braja lamatan berada ditelapak kaki kiri. Aji braja sekethi berada ditengah telapak tangan kiri. Aji rah muka dan rah anggana menempati pundak kiri dan kanan. Aji bandung naga sewu berada ditulang belakang, aji candha birawa bertempat ditenggorokan. Aji bandhung budhawasa menempati sekojur kaki kanan dan kiri.
Getaran metapisiknya amarah dapat membangkitkan aji hagni suci yang berada dititik pertemuan pandang kedua bola mata dengan ujung hidung. Aji trinetra berada ditengah-tengah kedua alis mata, dan aji pamungkas yang penempatan dan tata caranya tidak dapat penulis kemukakan disini, karena menurut anggapan penulis, hal ini merupakan salah satu diantara sekian banyak rahasia Ketuhanan. Namun demikian dapat diajarkan secara lisan dengan persyaratan tertentu.
Getaran metapisiknya mutmainah dapat menimbulkan aji nala wigara, yang pusat getaranya berada ditengkuk. Aji padma sana pusat getaranya berada dikedua lengan tangan dengan sikap cakra krodha. Aji gineng berada di pusat atau wudel. Aji mahondri berada pada semua jari kaki kanan dan kiri. Aji kawastrawam berada dipinggang kiri dengan dikepali dua tangan disertai pandangan muka serong kekanan dengan badan condong kedepan kanan. Aji bajingakiring setempat dengan aji mahondri, akan tetapi bertumpu pada lentingan kedua ujung kaki. Aji rawa rontek pusat getaranya memakai sikap berdiri dengan salah satu kaki berpusing, atau berjingkat dengan berdiri bertumpu dengan salah satu kaki. Kalandana putih adalah aji yang pusat getaranya pada langit-langit mulut, dan masih banyak lagi.
Sedangkan getaran yang ditimbulkan oleh bayu sejati, dapat digunakan antara lain untuk: sambung rasa kepada para insan gaib. Dan sambung rasa sambang yang artinya dapat digunakan untuk menghadiri suatu tempat secara metapisis tanpa menggunakan raga, akan tetapi nampak kehadiranya berupa cahaya berwarna kristal. Sambung rasa asmara yang dapat dipergunakan untuk memberikan kepuasan asmarawi kepada atau suami tercinta apabila secara kebetulan berada ditempat terpisah yang cukup lama, dengan tehnik pengiriman rasa senggama lewat impian. Dengan daya bayu sejati dapat pula untuk angracut aji bandhung budhawasa yang cara dan fungsinya hampir sama dengan sambung rasa asmara hanya saja tugas yang diemban oleh aji ini untuk menjaga rumah, manakala ditinggal pergi cukup lama. Dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan yang sengaja tidak penulis paparkan disini, karena akan lebih baik hasilnya apabila diajarkan lewat tatap muka secara langsung.
MAKNA KATA DAN ISTILAH DI DALAM MIJIL
Mijil artinya:
Metu lan amiji, artinya keluar dan (tetapi) menyatu. Yang keluar berupa getaran dan yang menyatu dan yang menyatu adalah jiwa dan raga yang terus bersambang dan bersambung rasa. Hal ini hanya mungkin dijalankan manakala seseorang sudah mengenal jati diri rohnya.
Sedya manjing sajroning rasa, yang artinya: kemauan masuk kedalam rasa. Kemauan yang dimaksud adalah semua khajad, niat dan cita-cita penyampaianya harus disalurkan dengan olah rasa perasaan yang halus. Sehingga membentuk suasana yang benar-benar komunikatif, baik untuk hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Sedya rasa manjing jroning raga, yang artinya; kemauan dan rasa menyatu di dalam tubuh. Maksudnya setelah kemauan memasuki rasa untuk dikomunikasikan, selanjutnya diharapkan dapat memperoleh apa saja yang dibutuhkan oleh raga. Baik kebutuhan materi maupun non materi.
Cipta manjing jroning sukma, artinya daya cipta memasuki sukma. Apabila sudah memasuki proses ini, maka daya cipta dapat memberdayakan sukma, yang pada giliranya proses manunggaling Gusti kawula sudah mulai dekat. Karena pada dasarnya hubungan makhluk dengan khaliknya yang paling tepat adalah bentuk hubungan sukmawi.
Dayaning Sukma rinasa ing raga, yang artinya keberadaan dan daya dari kekuatan sukma dapat benar-benar dirasakan oleh raga. Apabila proses pernah dilalui, orang akan benar-benar merasakan daya sukma itu, yang bersifat tahan benturan, tahan api, tahan angin dan juga tahan akan segala senjata. Pernah seseorang membuktikan, suatu ketika sedang gladian olah getaran, ada yang membentur batu karang pas bagian kepalanya akan tetapi tidak terluka ataupun merasakan sakit.
Rasa angagem kuwasane sukma sejati, yang artinya rasa perasaan dan rasa naluri sudah memakai kekuatan sukma sejati. Apabila sudah mencapai proses ini, apa yang menjadi angan-angan, kata-kata, maupun cita-cita sering gampang menjadi kenyataan. Dan diharapkan jangan sembarang bicara yang jelek atau menyumpahi orang. Karena kemungkinan akan fatal akibatnya. Dari itulah kenapa ada pantangan tidak boleh “nyepatani”.
Sukma Sejati sambung rasa marang Sukma Kawekas, artinya Sukma Sejati berhubungan secara rasa dengan Sang Maha Hidup. Pada tataran ini proses manunggaling Gusti Kawula sudah semakin dekat. Orang dapat merasakan kehadiran insan gaib secara wantah atau biasa pada alam nyata.
Sukma Kawekas Sambang Rasa marang Sukma Sejati, artinya Sang Maha Hidup memberi perlindungan kepada Sang Sukma Sejati. Apabila sudah sampai pada tataran ini seseorang sering memperoleh bukti yang benar-benar nyata atau suatu kejadian yang apabila tanpa perlindunganya, tak mungkin tertolong. Misalnya; bersepeda motor tertabrak mobil, mobilnya peok, penumpangnya terluka, akan tetapi sepeda motor dan pengendaranya baik-baik saja.
Sukma Sejati angobahake rasa tumuju marang paraning sedya, artinya Sang Hidup menggerakkan raga dengan menggunakan rasa mengarah kepada tujuan hidup. Pada proses ini sering dialami oleh seseorang, manakala suatu hari dalam keadaan payah karena benturan ekonomi, tiba-tiba ada getaran sulit dikendalikan pada kaki dan perasaan ingin menuju kesuatu tempat. Begitu kuatnya keinginan itu sehingga tidak dapat dicegah. Ternyata setelah sampai pada tempat tujuan bertemu dengan kenalan yang dapat mengarahkan ke dunia bisnis, dan akhirnya berhasil.
LAIN-LAIN
Angagem aji atau memakai ajian berarti memakai daya sukmanya sendiri yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang didalam Bahasa Jawa dikatakan angagem dayaning Sukma asal saka Gusti.
Singkir mijil yaiku ambalekake kaya asal kamulane. Yangartinya mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Lan angilangake kahanan ala saka jiwa raga pribadhi, artinya menghilangkan keadaan jelek dari diri pribadi.
Upacara Hagni Suci adalah adalah suatu kegiatan pengakuan dosa dan upaya penyuciannya dengan cara penghayalan seakan akan diri ini sedang dibakar api yang sangat besar, dengan upacara dan doa khusus yang menggunakan sarana kembang sepatu.
Nawala Tirta adalah suatu upacara ritual dalam upaya pengiriman berita insan gaib atau yang tergolong dengan Utusan Langgeng yang tataranya dibawah Ismoyo, dengan maksud melaporkan hasil perolehan atau suatu lelaku yang pernah dilaksanakan atas suatu “Dhawuh”. Untuk memperoleh petunjuk lebih lanjut. Dengan menggunakan syarat-syarat tertentu, diapungkan dilaut.
Walik mijil, adalah upacara ritual, dimana seseorang seakan-akan dilahirkan kembali (renatal), dengan cara dalam upacara ritual yang mengharuskan seseorang dilangkahi oleh ibu kandungnya sendiri. Apabila sudah meninggal, boleh diwakili saudara tua perempuan yang sedarah dengan almarhum ibunya.
KESIMPULAN
Dari itu semua sebenarnya yang namanya Asma Sejati itu tidak lain adalah jati diri dari roh orang yang bersangkutan, yang diberikan oleh sesepuh atau kesepuhan yang dianggap sudah mumpuni atau menguasai olah spiritual sehubungan dengan gelar dan gulungnya Kunci, Paweling, Singkir lan Mijil.
Pada waktu manusia berada didalam kandungan ibu kira-kira usia seratus hari, kepada calon jabang bayi itu diberikan roh oleh Tuhan, dengan satu macam roh untuk semua manusia di bumi ini. Intinya semua orang diberikan roh yang hanya satu oleh Tuhan Yang Maha Satu.
Maka Asma Sejati disini dipergunakan untuk identitas atau jati diri yang membedakan antara si A dengan si B, si C dan seterusnya. Atau dengan perkataan lain untuk membedakan roh atau atma pada diri setiap orang itulah maka diperlukan Asma Sejati, yang apabila di Mijilkan akan berhubungan dengan dengan benar-benar menyatu antara raga dan jiwa.
Dari kedua pengertian tentang mijil dan satu pengertian tentang Asma Sejati, maka pengertian Mijil ing Asma Sejati adalah ngetokake daya rasa pracaya marang Ingkang Maha Tunggal kanthi nyawiji migunakake kekuatan atmane dhewe. Yang artinya mengeluarkan daya dari rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Satu dengan cara menyatu menggunakan kekuatan atmanya sendiri.
Demikian sekilas dan serba sedikit uraian tentang pengertian Kunci, Mijil, Asma Sejati, Paweling dan Singkir yang juga disebut Panca Gaib yang dapat penulis sajikan sebatas kemampuan dengan maksud dapatlah yang sedikit ini dijadikan pedoman seadanya dengan maksud untuk memberi jawaban atas pertanyaan dari berbagai kalangan dan kadang yang sampai tulisan ini dibuat belum ada yang sudi memberikan jawaban.
Sudah barang tentu jawaban ala kadarnya ini masih jauh dari makna dan pengertian yang terkandung didalam Panca Gaib yang memang sangat sulit, rumit dan serba luas, penuh kerahasiaan, halus serta tidak terukur oleh dimensi waktu maupun ruang.
Namun demikian penulis yang belum tahu apa-apa ini dengan sangat terpaksa memberanikan diri membuat uraian ini. Maka sudah barang tentu masih banyak kekurangan yang perlu penyempurnaan. Walaupun sudah berupaya semaksimal mungkin, begitupun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan, Rahayu.
Sugeng Rahayu.
BalasHapusNuwun sewu, nderek copy paste.
Nuwun.
RAHAYU KANG MAS ADMIN...DEREK COPY PASTEL....RAHAYU
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMugi Rahayu ingkang tansah pinanggih Aamiin 7X
BalasHapusdidalam SINGKIR, “hananira hananingsun” maka dengan sendirinya wujudira wujudingsun dan rasanira juga rasaningsun, sesuai dengan semboyan yang dipakai oleh Departemen Sosial, “TAT TWAM ASI” yang artinya " kamu atau engkau " itu adalah diriku.
BalasHapusTeks diatas kurang kata " kamu atau engkau " mohon maaf bila keliru
SALAM RAHAYU
BalasHapusSalam Rahayu saking putro ndugi Lamongan, Rahayu Rahayu Rahayu
BalasHapusRahayu,saking jatilawang purwokerto,wanti nami kulo
BalasHapusApa si penulis sudah mempraktekan sendiri ajaran kunci.
BalasHapusRahayu
BalasHapusIzin share
BalasHapusRahayu saking tlatah ngayokjokarto
BalasHapusRahayu..Putro Romo saking malang
BalasHapusRahayu, Malang pundi Kangmas?🙏
HapusPutro saking Jombang
BalasHapusKanti teguh Rahayu selamet.asli ngayojokarto.gesang wonten Jakarta.
BalasHapusWynn Hotel and Casino | Travel Weekly
BalasHapusFeaturing 2,750 guestrooms and suites, Wynn 전라남도 출장안마 Las 상주 출장안마 Vegas now features 부천 출장샵 542 elegantly 고양 출장마사지 appointed guest rooms, the luxurious suites 김포 출장안마 have an amber reflection of